Senin, 21 Maret 2011

The Love For Happy Together Part.3

Dina dan Vandi pun duduk di ruang tamu di rumah Layla. Sejenak mereka terdiam. Layla sedang menerima telepon di ruangan lain. Vandi pun membuka suaranya.

”Aku tidak menyangka kau rupanya sahabat Layla.”

Dina tersenyum, dia pun juga menjawabnya.

”Aku juga tidak menyangka kalau sepupunya adalah kau.”

Mereka pun tertawa kecil mendengar perkataan masing-masing.

”Sungguh tidak terkira kita bertemu lagi disini.”

”Iya. Oh iya, katanya kau sekelas denganku. Tetapi aku tidak pernah melihatmu dikelas.”tanya Dina.

”Oh itu. Kau sudah mendengar apa yang dikatakan Layla kan? Aku orangnya sangat sibuk.”jawab Vandi. Dina mengangguk mengerti.

”Memangnya kau sibuk apa?”tanya Dina lagi. Vandi tersenyum lagi.

”Urusan bisnis.”

”Oh.” Dina pun terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus ditanyakan lagi.

”Bagaimana?”tanya Vandi.

”Apanya?”

”Kau sudah tenang? Apa kau bisa menceritakan kepadaku kenapa kau menangis tadi?”

Dina tertegun mendengar pertanyaan Vandi. Dina terdiam memikirkannya.

“Itu….aku….”

Tiba-tiba ponsel milik Dina berdering. Dina pun langsung mengangkatnya.

“Halo. Apa? Buku? Tunggu sebentar.” Dina pun memeriksa tas yang dibawanya. Tidak lama, dia pun menepuk dahinya. Vandi tertawa kecil melihat kepanikan Dina.

”Ah iya! Bukumu memang ada padaku. Baiklah. Sekarang aku akan kesana. Sampai jumpa.” Dina pun mengakhiri percakapannya diponsel. Dia pun memandang Vandi dengan sedikit menyesal.

”Maaf, Vandi. Aku ada urusan….”

”Tidak apa-apa. Kau pergi sajalah. Biar aku yang katakan kepada Layla.” Vandi memotong pembicaraannya.

”Terima Kasih.” Dina pun meninggalkan Vandi dengan buru-buru. Vandi hanya tersenyum melihatnya sampai jauh.

Layla pun datang.

”Maaf, aku lama. Tadi ada telepon. Eh? Mana Dina?”tanya Layla sambil duduk disamping Vandi.

”Dia pergi ada urusan.”jawab Vandi sambil meminum teh yang sudah tersedia di meja.

”Oh begitu. Ngomong-ngomong, Vandi. Bagaimana kau bisa mengenalnya? Memangnya dimana kau mengenalnya?”tanya Layla bertubi-tubi karena penasaran. Vandi pun tertawa.

”Hei! Orang sedang bertanya, kau malah tertawa?”kesal Layla melihat sikapnya.

”Bukankah waktu itu aku sudah pernah mengatakannya kepadamu?”

”Hah?” Layla tetap tidak mengerti.

”Gadis yang kutemui sedang menangis ditaman.”ujar Vandi.

”Oh! Maksudmu gadis itu adalah dia?”tanya Layla tidak percaya. Vandi mengangguk.

”Apa? Oh…” Layla mengangguk. Saat Vandi melihat kebawah. Dia menemukan sebuah foto yang terjatuh. Rupanya saat Dina sedang memeriksa tasnya, dia tidak menyadari bahwa foto miliknya terjatuh dilantai. Vandi pun mengambil dan mengamatinya.

”Bukankah ini Dina, Rava dan Lia?”tanya Vandi yang membuat Layla pun memperhatikannya.

”Iya benar, memang mereka.”

”Hah?” Vandi mengernyitkan dahinya.

”Mereka ini sahabat satu sekolah semasa SMA. Lihat Dina dulu kan begitu buruk.”

”Tapi sekarang dia berubah.”

”Tentu saja dia berubah karena dia sedang berjuang….” Layla langsung menutup mulutnya. Hampir saja dia membocorkan rahasia Dina karena dia sudah berjanji kepadanya untuk tidak memberitahukan siapa pun.

”Berjuang apa?” Vandi semakin penasaran.

”Ya. Tentu saja berjuang untuk dirinya sendiri. Karena dia bosan jadi orang buruk.”jawab Layla berbohong sambil tersenyum. Vandi hanya terdiam.

”Layla. Kau bilang dia adalah sahabatmu.”tanya Vandi lagi. Layla mengangguk.

”Apa kau tahu alasan kenapa dia menangis ditaman?”

Layla tertegun mendengar pertanyaan Vandi. Layla jadi salah tingkah.

”Uhm… Maaf, Vandi. Aku mau ke kamarku dulu. Aku lupa kalau aku harus mengembalikan buku ke Eza.” Layla langsung ke atas meninggalkan Vandi yang mulai sedikit curiga dengannya. Dia pun memperhatikan foto itu lagi.

”Dina, Rava, dan Lia?”gumamnya dengan penasaran.

”Maafkan aku.”ucap Dina menyesal kepada temannya di kampus.

”Sudahlah, tidak apa-apa Dina. Yang penting kau sudah mengembalikan bukuku.”ujar temannya sambil menepuk bahunya lalu dia pun pergi. Dina pun jadi lega. Dia pun berbalik menyusuri lorong kampus.

Dia pun melewati taman. Dan dia terkejut bertemu dengan seseorang.

”Lia?”panggilnya tepat didepan Lia yang sedang jalan. Lia pun ikut terkejut melihatnya.

”Dina.”

Mereka berada dikafe. Mereka pun duduk berhadapan. Lia meminum kopi hangat karena suasana sedang dingin. Sedangkan Dina awalnya terdiam, tidak lama dia pun ikut meminum kopi. Lia yang melihat Dina langsung meletakkan gelasnya.

”Dina. Aku tidak menyangka kau jadi berbeda dengan yang dulu.”ujar Lia sambil tersenyum. Dina pun berhenti minum dan dia pun meletakkan gelasnya. Sambil berusaha menghilangkan rasa sakit hatinya. Dia pun ikut tersenyum.

”Oh, iya?”

”Iya. Kau jadi terlihat lebih cantik dibanding yang dulu.” puji Lia.

”Terima kasih.” ucap Dina.

”Tapi biasanya kau tidak suka diet. Kenapa tiba-tiba kau bisa berubah pikiran?”tanya Lia.

Dina tertegun mendengarnya. Dia harus mengingatkan dirinya, meskipun Lia adalah sahabatnya yang dulu, sahabat yang sering dijadikan tempat curhatnya. Namun kini sudah berbeda. Kini dia tidak hanya sahabat, dia adalah tunangan Rava. Dina pun berbohong kepadanya.

”Karena aku bosan jadi orang yang buruk.”

”Uhm…. begitu ya?” Lia kembali meminum kopi hangatnya. Dina terus memandanginya.

”Lia. Bagaimana kau bisa menyukai Rava dan menjadi tunangannya?” Akhirnya Dina pun memberanikan dirinya bertanya kepada Lia.

Lia tertegun mendengarnya. Dia jadi sedikit kikuk. Kemudian dia pun meletakkan gelasnya.

”Oh itu. Awalnya aku tidak menyukainya, Dina. Karena aku tahu kau masih menyukainya. Namun sejak kau pindah, dia semakin mendekatiku. Tentu aku yang masih menganggapnya sahabatku jadi malah aku yang terus curhat dengannya. Kau tahu waktu itu aku masih memiliki kekasihkan?”

Dina mengangguk.

”Dia memutuskanku. Waktu itu, suasana hatiku benar-benar sangat buruk. Tetapi Rava yang selalu menghiburku disaat aku sedang duka. Dan tiba-tiba dia menyatakan perasaannya.” Lia berhenti sejenak sambil meminum kopinya. Dina masih tetap setia menunggu kelanjutan ceritanya. Lia pun melanjutkannya.

”Awalnya aku tidak menerimanya karena aku mengingatmu yang masih menyukainya dan tentu aku tidak pernah menyukainya. Namun dia tetap mengejarku. Dan akhirnya aku pun luluh. Tidak lama hubungan kami direstui orang tua kami dan kami pun bertunangan.” Lia pun kembali meminum kopi.

Dina hanya bisa terdiam sambil meminum kopinya juga.

”Dina.”panggil Lia. Dina pun memandangnya.

“Kau tidak apa-apa kan? Aku takut kau akan membenciku karena hal ini. Aku tidak mau dianggap mengkhianati sahabatku sendiri.”

Dina tertegun mendengarnya. Dina berusaha tabah dan menahan kesedihannya.

Dina pun tersenyum.

“Tidak apa-apa, Lia. Bukan salahmu juga. Dia yang menyukaimu, bukan aku. Aku mengerti hal itu.”

“Sungguh? Terima kasih.” Lia pun menggenggam tangan Dina dengan lega. Dina hanya tersenyum melihatnya. Padahal hatinya kini kembali jadi sesak mendengar cerita Lia tadi.

Dina masih terus mengingat cerita Lia tadi siang. Dirinya sungguh tidak mengira kalau Lia begitu masih mengingat persaannya. Namun apa daya, mungkin memang bukan takdir. Dia harus tetap menerima keputusan Rava menjadi milik Lia. Bukan dirinya. Layla langsung masuk ke kamar Dina.

”Hai, Dina! Kau sedang apa? Malam-malam begini kau melamun lagi.”ujar Layla yang begitu mengagetkan Dina.

”Tidak apa-apa.” Dina menggeleng kepalanya.

”Oh. Begitu.”

Dina langsung mengambil mantel dan tasnya. Layla terkejut melihatnya.

”Kau mau kemana, Dina?”

”Aku mau keluar cari udara segar.”jawab Dina sambil tersenyum.

Dina pun keluar meninggalkan Layla yang masih terdiam bingung.

Dina terus berkeliling di sekitar kota. Mencari ketenangan dirinya. Dari pertama kali kuliah sampai sekarang rasanya Dina terus sakit kepala dan hati. Sungguh tidak bisa mengawali hari-harinya dengan gembira. Entah bagaimana cara melupakan rasa sakit hatinya kepada mereka.

Dina terus menggosok tangannya yang sudah bersarung tangan. Cuaca malam ini begitu sangat dingin. Sesekali dia mengelus kedua lengannya sendiri memberi kehangatan kepada dirinya. Kemudian dia melihat sebuah toko. Dina pun masuk kedalam dan memesan minuman kopi hangat.

Dina pun keluar sambil minum kopi pesanannya. Dia melanjutkan perjalanannya.

Menyusuri kota-kota yang begitu terang dan indah. Dina jadi terhibur melihat lampu-lampu yang menerangi kota begitu sempurna. Sesekali dia melihat pasangan-pasangan bahagia yang dilewatinya.

Dina kembali muram melihatnya. Tidak lama, dia pun menggelengkan kepalanya sendiri untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia kembali meminum kopinya sampai habis.

Dina meminum kopinya namun dia baru sadar kalau kopinya sudah habis. Dia melihat sekeliling mencari kotak sampah. Dia menemukannya lalu dia berlari dan membuang gelas plastik itu. Tidak jauh dari hadapannya, dia melihat sosok yang dikenalnya yang sedang menunggu seseorang di depan sebuah butik.

”Lia.” Dina terus memerhatikannya. Tidak lama sebuah mobil datang dihadapannya. Rava keluar dari mobilnya.

Lia tersenyum dan berlari sambil memeluk Rava.

”Maaf, lama ya?”tanya Rava.

”Iya. Kau ini membuatku menunggu kedinginan seperti ini. Aku hampir saja beku!”kesal Lia ngomel. Rava tertawa.

”Maafkan aku, sayang.”ucap Rava sambil membelai kepalanya. Namun tetap saja Lia cemberut. Rava tertawa melihatnya.

Dina tertegun melihatnya.

Vandi yang sedang jalan-jalan malam. Dia menghentikan langkahnya karena tidak sengaja melihat Rava dan Lia di depan kap mobilnya.

”Huh! Dasar pasangan norak!? Tidak tahu malu berpelukan ditempat umum. Ckckck…” Vandi menggeleng kepalanya dengan heran. Namun tatapannya menangkap Dina sedang memperhatikan mereka.

”Bukankah itu Dina?” Vandi menyipitkan matanya untuk melihatnya dengan jelas. Namun dia tertegun melihat Dina langsung mengeluarkan air matanya dengan terdiam.

”Kenapa dia menangis?” Vandi memperhatikan Dina. Lalu mengikuti arah tatapan Dina yang melihat Rava dan Lia yang sedang berpelukan

Vandi pun memikirkannya. Dan dia pun menyadarinya.

Dina pun terpaksa mengeluarkan air matanya. Dia tidak bisa menahan kesedihannya.

Dia tidak tahan melihatnya, dia pun berbalik bermaksud pergi dari tempatnya namun dia menabrak tubuh seseorang. Dina pun mendongakkan kepalanya. Dina terkejut.

”Vandi.”panggilnya dengan lirih. Vandi tidak menjawabnya, dia malah memerhatikan pasangan di depan butik itu.

”Sudahlah, Rava! Ayo kita masuk. Aku sudah kedinginan nih.”keluh Lia sambil mengelus lengannya sendiri. Rava pun membuka pintu untuk Lia dan Lia pun memasuki mobil itu begitu juga Rava. Mereka pun meninggalkan tempat butik itu. Sementara Dina berbalik menatap kepergian mobil itu sampai jauh

”Aku rasa. Aku sudah mengetahui alasan kenapa kau selalu menangis.”

Dina tertegun mendengarnya.

”Apa maksudmu?”tanya Dina bingung.

”Kau menangis karena kau menahan rasa sakit hatimu kepada Rava yang sudah menjadi tunangan Lia kan?”

Jawaban Vandi membuat Dina terkejut.

“Hah? Apa maksud ucapanmu itu? Aku sama sekali tidak mengerti.” Dina berusaha mengelaknya sambil melewatinya, menghindarinya.

”Lalu apa maksud foto ini?” Vandi menunjukkan foto milik Dina yang terjatuh di rumah Layla tadi. Dina berhenti dan berbalik. Terkejut melihat Vandi memegang fotonya.

”Bagaimana kau bisa mendapatkan foto itu?”tanya Dina sambil mengambil foto yang dipegang Vandi.

”Kau menjatuhkannya di rumah Layla.”

Dina terdiam.

”Jawab pertanyaanku. Benarkan yang aku katakan tadi?” lagi-lagi Dina tetap diam. Vandi pun menariknya, membawa ke suatu tempat.

Vandi membawakan dua gelas kopi hangat. Satu gelas diberikannya ke Dina. Dan dia langsung meminum kopi hangat itu. Sementara Dina masih tetap memegang gelasnya. Mereka duduk di bangku taman. Suasana masih tetap dingin sesuai dengan perasaan Dina saat ini.

”Apakah dia tahu perasaanmu?”tanya Vandi.

Dina menggeleng kepala. Tetap dengan posisinya yang sambil menunduk. Vandi pun meletakkan gelasnya begitu juga milik Dina.

”Hhhh…. Dina. Aku mengerti perasaanmu. Tetapi bukankah kau tidak harus selalu sedih melihatnya.”

Tiba-tiba air mata Dina kembali jatuh. Vandi jadi terdiam melihatnya.

”Dina. Apa kau membawa saputanganku?”

Dina mengangguk. Lalu dia mengeluarkan sapu tangan milik Vandi dari tasnya. Dan diberikannya ke Vandi. Vandi malah menyeka air mata Dina sehingga Dina terkejut melihatnya.

”Vandi?”

”Kenapa setiap kita bertemu, kau selalu seperti ini? Padahal aku tidak mau kalau bertemu denganmu selalu dalam keadaan sedih. Aku lebih senang melihatmu tersenyum dan tertawa dihadapanku, Layla, dan yang lainnya. Aku tidak mau terus melihatmu terpuruk dalam perasaanmu yang sedang sedih.”ujar Vandi tetap menyeka air matanya sampai kering.

Namun air mata Dina kembali terjatuh. Kini dia menangis dihadapan Vandi. Vandi berhenti menyekanya.

”Dina.”

Dina langsung memeluknya, mengeluarkan semua air mata yang ditahannya. Dia terus menangis terisak.

”Lalu apa yang harus aku lakukan, Vandi? Bagaimana caranya agar aku tidak terus sedih? Bagaimana caranya agar aku bisa ceria? Bagaimana caranya agar aku bisa bahagia melihat mereka bahagia? Bagaimana caranya?!” teriak Dina sambil memukul dada Vandi. Vandi pun menahan rasa sakitnya. Dina terus menangis terisak. Sementara Vandi pun membalas pelukan Dina dan membelai kepalanya untuk menenangkannya.

Vandi tidak mengira Dina begitu menderita dengan perasaannya.

TO BE CONTINUED……………………………..

0 komentar:

Posting Komentar